Para Masyayikh Ponpes Al Falah Ploso Mojo Kediri mempunyai pesona tersendiri untuk para santri ploso. Kekuatan sejarah yang begitu melekan dengan ciri khas tirakat dan keberanian melawan penjajah Indonesia hingga kini masih terbenam dalam di benak para santri. Masyayikh Al Falah Ploso adalah harapan para santri ngalap barokah, selain itu jejak-jejak keilmuan dan perjuangan menjadikan inspirasi hebat sebagai Murobbi (pendidik jiwa) para santri.
Berikut kami rangkum jejak para Masyayikh dan Foto-foto serta kisah-kisah didalamnya yang akan menambah kecintaan kita kepada para masyayikh:
KH. Ahmad Djazuli Utsman
Kisah lengkapnya silahkan baca di sini
KH. Ahmad Zainuddin Djazuli
Sidikit nasihat dan motivasi dari hasil wawancara dengan KH. Zainuddin Djazuli pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso Mojo Kediri. Untuk memaksimalkan usia, apa tidak lebih baik mengambil yang instan-instan dalam belajar agama? Beliau menjawab: “Nah, sekarang coba kyai mana yang instan-instan kaya gitu, apa ada? Apa ada kyai mondok cuma seminggu? Kan tidak ada.
Abah saya (Kiai Djazuli) dulu pertama mondok di Gondang Legi, disana khatam kitab Ajjurrumiyah, terus pindah ke Mojosari, di sana 7 tahun, terus lanjut ke Makkah selama 3,5 tahun. Waktu di Makkah beliau di kasih kitab Dalailul Khairat oleh Habibullah asy-Syintiqiti, sambil diberi pesan agar nanti kalau mencarinya, carilah di tempat ini.
Ternyata ketika dicari malah menemukan kabar bahwa Habibullah asy-Syintiqiti sudah meninggal 200 tahun yang lalu. Kalau mau ke Madinah, semua kitab disimpan rapi, hanya kitab dalail yang dibawa, beliau jalan kaki dari Makkah ke Madinah selama satu bulan.
Santri sekarang apa ada yang sampai tirakat seperti itu. Dulu jalannya masih padang pasir, tiap kali berhenti istirahat di dalam pasir, hanya kelihatan wajahnya saja di permukaan. Seperti itu riyadhah Abah saya. Di Madinah ditangkap oleh Belanda lalu dipulangkan ke Indonesia hanya memakai kaos dan celana serta hanya membawa kitab dalail. Setelah itu Abah masih mondok lagi di Termas setengah tahun.
Yaa.. bisa dilihat barakahnya, bisa bangun pondok Al Falah seperti ini. Sekarang kalau cari yang instan gak ada, yang instan namanya martabak dan mie. (Po Afo)
Dalam mencari dan belajar ilmu terutama ilmu agama memang tidaklah cepat dan instan seperti dawuh Kyai Din tersebut, akan tetapi butuh akan kesabaran dan waktu yang lama. Hal ini selaras dengan Syaikh Azzarnuji di dalam kitabnya Ta’limul Muta’alim yang menuliskan sebuah syair dari Sayyidina ‘Ali Kw., beliau mengatakan:
Nyai Hj, Rodliyah Djazuli
Dialah Roro Marsinah, seorang janda muda sholehah putri Kyai Imam Mahyin Trenggalek. Sebelumnya, ia gagal membangun rumah tangga dengan Kyai Ihsan Jampes karena suatu kesalahpahaman. Ternyata perceraian itu membuatnya dilanda sedih dan rasa tersinggung, karena disamping putri kyai bangsawan, ia punya nasab cukup tinggi juga punya prinsip atau pendirian yang kuat. Tentu saja wataknya juga tergolong keras seperti layaknya sifat khas orang‑orang Durenan, dan sejak perceraiannya itu ia lebih mendekatkan diri kepada yang kuasa merenungkan apa salah dan kekurangan‑kekurangannya sambil istighfar mohon ampun. Sehari‑hari ia membaca Al qur’an di pusara Al Maghfurlah Kyai Imam Mahyin, ayahnya yang meninggal ketika ia masih berusia 7 tahun. 6)
KH. Nurul Huda Djazuli
Sosok yang satu ini tidak asing ditelinga kita. Wali yang terkenal karena sepanjang hidupnya digunakan untuk mengaji, mengaji dan mengaji, senantiasa memberikan pengajian tanpa mengenal kamus libur, sepuh dan penuh wibawa.
Hidupnya diperuntukkan mengaji, belajar dan mengaji lagi. Beliau adalah Kyai Nurul Huda Jazuli, sosok yang jarang hadir di pentas perpolitikan dan juga jarang hadir pada majelis-majelis karena tekun mengajar, mengaji dan ngopeni santri.
Sosok yang juga terkenal kaya raya ini adalah salah satu sesepuh kyai-kyai di Jawa Timur yang banyak disowani tamu tamu dari semua kalangan, baik kalangan, termasuk pejabat. Fatwa fatwanya didengar oleh muslimin. Paweling yang seringkali beliau dawuhkan adalah: amaliah ilmiah, ilmiah amaliah. Begitu dawuh yang sudah populer dikalangan masyarakat.
Dan Mbah Kyai Nurul Huda Jazuli sudah sangat pantas menyandang predikat wali, dan tentunya bukan hanya sekedar wali, tapi wali yang banyak membawa manfaat dengan mengajar pada sesama, tentunya derajatnya lebih tinggi dari pada wali yang hanya melulu wirid dan beribadah kepada Allah.
Sebagai tambahan, wali secara etimologis adalah lawan dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari mu'ahadah (permusuhan). Maka wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.” (Yunus: 62 – 64)
Dari ayat tersebut, wali adalah orang yang beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya yang termaktub dalam Al Qur’an dan terucap melalui lisan Rosul-Nya, memegang teguh syariatnya lahir dan batin, lalu terus menerus memegangi itu semua dengan dibarengi muroqobah (terawasi oleh Allah), kontinyu dengan sifat ketaqwaan dan waspada agar tidak jatuh ke dalam hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian menunaikan wajib dan melakukan hal yang diharomkan (Muqoddimah Karomatul Auliya’, Al-Lalika’i, Dr. Ahmad bin Sa’d Al-Ghomidi, 5/8).
Ibnu Katsir rohimahulloh menafsirkan: Allah Ta’ala menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384).
Komentar0