Dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Imam al-Hafidz Ibnu Katsir menulis sebuah riwayat menarik tentang Nabi Ayyub ‘alaihissalam dan dua saudaranya. Berikut riwayatnya:
وحدثنا أبي، حدثنا أبو سلمة، حدثنا جرير بن حازم، عن عبد الله بن عبيد بن عمير قال: كان لأيوب، عليه السلام، أخوان فجاءا يوما، فلم يستطيعا أن يدنوا منه، من ريحه، فقاما من بعيد، فقال أحدهما للآخر: لو كان الله علم من أيوب خيرا ما ابتلاه بهذا، فجزع أيوب من قولهما جزعا لم يجزع من شيء قط، فقال: اللهم، إن كنت تعلم أني لم أبت ليلة قط شبعان وأنا أعلم مكان جائع، فصدقني، فصدق من السماء وهما يسمعان، ثم قال: اللهم، إن كنت تعلم أني لم يكن لي قميصان قط، وأنا أعلم مكان عار، فصدقني، فصدق من السماء وهما يسمعان، اللهم بعزتك ثم خر ساجدا، ثم قال: اللهم بعزتك لا أرفع رأسي أبدا حتى تكشف عني، فما رفع رأسه حتى كشف عنه
Ayahku bercerita, Abu Salamah bercerita, Jarir bin Hazim bercerita, dari ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair, ia berkata: “Ayyub ‘alaihissalam mempunyai dua orang saudara. Suatu hari keduanya mengunjunginya. Mereka tidak kuat berdekatan dengan Ayyub karena baunya. Keduanya berdiri dari kejauhan. Salah satu dari keduanya berkata: “Andai Allah mengetahui kebaikan Ayyub, ia tidak akan tertimpa musibah ini.”
Ayyub pun sedih karena ucapan dua saudaranya itu, dengan kesedihan yang tidak pernah dirasakan olehnya. Kemudian ia berdoa: “Ya Allah, kiranya Kau tahu bahwa aku tidak pernah tidur (dalam keadaan) kenyang, padahal aku tahu (bagaimana susahnya) keadaan orang kelaparan, maka benarkanlah aku.” Allah membenarkannya dari langit, dan kedua saudaranya mendengarnya.
Kemudian Ayyub berdoa (lagi): “Ya Allah, kiranya Kau tahu bahwa aku tidak memiliki pakaian, padahal aku tahu (bagaimana susahnya) keadaan orang telanjang, maka benarkanlah aku.” Allah membenarkannya (lagi) dari langit, dan kedua saudaranya mendengarnya.
“Ya Allah, dengan keagungan-Mu,” lalu Ayyub bersujud dan melanjutkan doanya, “Ya Allah, dengan keagungan-Mu aku tidak akan mengangkat kepalaku selamanya hingga Kau hilangkan (musibah ini) dariku.” Kemudian Ayyub tidak mengangkat kepalanya hingga Allah menghilangkan (musibah/penyakit) darinya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2000, h. 1246)
Sebelum membahas kisah di atas, kita perlu tahu terlebih dahulu bahwa Sayyidina Ayyub ‘alaihissalam terkena sakit menahun yang luar biasa parahnya. Menurut Imam Qatadah, lamanya sekitar tujuh tahun, “sab’a sinîna wa asyhâran—tujuh tahun beberapa bulan,” yang tersisa dari tubuhnya tinggal mata, hati, jantung dan lidahnya. Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dikatakan, “mâ kâna baqiya min Ayyûb illâ ‘ainâhu wa qalbuhu wa lisânuhu—tidak tersisa dari (tubuh) Ayyub kecuali mata, hati dan lidahnya.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 54). Menurut Imam Wahb bin Munabbih, “makatsa fîl balâ’i tsalâtsa sinîna—Ayyub mengalami bala’ tiga belas tahun.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 2000, h. 1245). Penggunaan kata “al-bala’” menunjukkan bahwa yang menimpanya tidak hanya penyakit, tapi berbagai macam musibah.
Imam Ibnu Katsir ketika menafsiri Surah al-Anbiyâ’ ayat 83: “dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang,” mengatakan:
يذكر تعالى عن أيوب، عليه السلام، ما كان أصابه من البلاء، في ماله وولده وجسده
“Allah menyebut kisah Ayyub ‘alaihissalam, yaitu kisah ketika ia terkena musibah dalam harta, anak dan jasadnya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 2000, h. 1244-45)
Sebelum terkena musibah, Sayyidina Ayyub ‘alaihissalam memiliki banyak anak dan harta melimpah, dari mulai binatang ternak sampai rumah yang nyaman. Lalu perlahan-lahan semuanya hilang, hingga kusta menguasai sekujur tubuhnya (bil jadzâm fî sâ’iri badanihi). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 2000, h. 1244-45).
Namun, tak pernah sekalipun ia mengeluh. Ia tegar menjalani hidupnya. Sabar dengan segala timpaan musibah. Kesabarannya tidak hanya ditunjukkan dengan tanpa mengeluh, tapi juga dengan terus beribadah yang tak kurang intensitasnya ketika tubuhnya masih sehat. Ketika isterinya memintanya berdoa kepada Allah agar disembuhkan (ud’ullaha fayusyfîka), Sayyidina Ayyub ‘alaihissalam tidak melakukannya (faja’ala lâ yad’û). Ia tetap teguh menerima semuanya, hingga suatu kejadian terjadi, yaitu ketika dua saudaranya berkunjung dan mengatakan sesuatu yang memberatkan hatinya. Ia sangat sedih mendengar ucapan kedua saudaranya, bukan karena susahnya keadaannya, tapi karena prasangka buruk mereka kepada Allah.
Ia pun berdoa dengan melantangkan suaranya agar keduanya mendengar. Ia berseru kepadaNya, “Ya Allah, kiranya Kau tahu bahwa aku tidak pernah tidur (dalam keadaan) kenyang, padahal aku tahu (bagaimana susahnya) keadaan orang kelaparan, maka benarkanlah aku,” dan berikutnya ia berdoa, “Ya Allah, kiranya Kau tahu bahwa aku tidak memiliki pakaian, padahal aku tahu (bagaimana susahnya) keadaan orang telanjang, maka benarkanlah aku.” Lalu ia mengakhiri doanya dengan kalimat, “Ya Allah, dengan keagungan-Mu aku tidak akan mengangkat kepalaku selamanya hingga Kau hilangkan (musibah ini) dariku.”
Rangkain doa di atas menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, keyakinan Sayyidina Ayyub akan kasih sayang Allah. Meski bertahun-tahun lamanya ia sakit, tak sekalipun ia meragukan kasih sayang Allah. Diselamatkannya mata, lidah dan hati sangat disyukuri olehnya. Dengan itu, ia masih bisa berzikir, bersyukur dan beribadah kepadaNya. Karena itu ia sangat yakin, kapanpun ia minta disembuhkan, dengan kasih sayang-Nya yang maha luas, Allah pasti menyembuhkannya.
Kedua, jika Sayyidina Ayyub mau, musibahnya akan berakhir seketika itu juga. Poin kedua ini berkaitan erat dengan poin yang pertama, bahwa ia sangat yakin akan disembuhkan Allah jika memintanya. Persoalannya, ia tidak mau memintanya. Seringkali isterinya memintanya berdoa kepada Allah agar disembuhkan, tapi ia selalu menolak. Bagi Sayyidina Ayyub, sembuh atau tidak sekedar pilihan, dan ia memilih menjalani musibah yang diujikan Allah kepadanya.
Ketiga, sebagai cara Sayyidina Ayyub menyelamatkan saudaranya. Ini menarik, karena ia menampakkan proses dikabulkannya doa secara langsung kepada dua saudaranya. Selain sebagai bantahan atas perkataan mereka, juga penanaman benih iman dan taubat di hati mereka. Tentunya Sayyidina Ayyub sebagai seorang nabi tidak mau kedua saudaranya menjadi pendosa karena prasangka buruk mereka kepada Allah. Setelah ditampakkan dengan jelas, akhirnya mereka tahu, bahwa pandangan mereka tentang Tuhan sepenuhnya salah.
Dan keempat, ketidak-terimaan Sayyidina Ayyub atas prasangka buruk manusia kepada Allah. Sebelum menguraikannya, kita perlu mengetahui terlebih dahulu riwayat lain soal ini. Berikut riwayatnya:
مَرَّ نَفَرٌ مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ بِأَيُّوْبَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالُوْا: مَا أَصَابَهُ مَا أَصَابَهُ إِلَّا بِذَنْبٍ عَظِيْمٍ أَصَابَهُ قَالَ: فَسَمِعَهَا أَيُّوْبُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَعِنْدَ ذَلِكَ قَالَ: مَسَّنِيَ الضُّرُّ، وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ، قَالَ: وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ لَا يَدْعُوْ
“Beberapa orang dari Bani Israel melintasi (rumah) Ayyub ‘alaihissalam, mereka berkata: “Penyakit yang menimpanya tidak lain karena dosa besar yang dilakukannya.” Ayyub ‘alaihissalam mendengar perkataan itu dan berdoa (QS. Al-Anbiya’: 83): “(Tuhanku) aku telah terkena penyakit, dan Kau adalah Tuhan yang Maha Pengasih di antara semua pengasih.” Sebelumnya Ayyub tidak pernah berdoa. (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 54)
Ini artinya, doa Sayyidina Ayyub memohon kesembuhan tidak didasari karena kepayahan dan keputus-asaannya menjalani hidup, tapi ketidak-relaannya. Sebab, orang-orang yang berprasangka buruk kepada Allah mulai bermunculan ketika itu. Di riwayat pertama, prasangka buruk dilakukan oleh saudaranya sendiri, dan di riwayat kedua, prasangka buruk dilakukan oleh orang yang melintasi rumahnya. Mereka mengatakan, penyakit Ayyub karena dosa-dosanya. Perkataan semacam itu, bagi Sayyidina Ayyub, tidak bisa diterima. Bukan karena menyakiti perasaaannya, tapi karena prasangka buruk mereka kepada Allah, sehingga Sayyidina Ayyub tidak bisa mendiamkannya. Ia tidak peduli orang akan menghardiknya sedemikian rupa.
Dengan mengatakan, “penyakit yang menimpanya tidak lain karena dosa besar yang dilakukannya,” secara tidak langsung mereka berprasangka buruk kepada Allah. Karena menyempitkan rahmat-Nya yang luas dan kasih sayang-Nya yang tak berhingga. Seakan-akan Tuhan itu mudah marah dan pendendam, padahal tidak.
Atas pertimbangan tersebut, Sayyidina Ayyub ‘alaihissalam memanjatkan doa kepada Allah minta disembuhkan. Ia tidak mau lagi mendengar prasangka buruk kepada Tuhan. Ia ingin semua orang terhindar dari dua dosa sekaligus; pertama, dosa bermaksiat kepada Allah, dan dua, bermaksiat kepada sesama manusia. Logika sederhananya begini, setelah sakit menahun, perlahan-lahan penyakitnya berubah menjadi sumber prasangka, baik kepada Tuhan maupun dirinya sendiri. Itu artinya penyakit yang dideritanya telah menjadi penyebab dua maksiat sekaligus bagi yang berprasangka.
Oleh karena itu, tanpa peristiwa-peristiwa tersebut, ia bisa saja melanjutkan ujiannya, karena ujian adalah madrasah bagi manusia, apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan, para nabi adalah kelompok manusia yang paling berat cobaannya (HR. Imam Ahmad):
أشد الناس بلاء الأنبياء، ثم الصالحون، ثم الأمثل فالأمثل
“Manusia yang paling berat cobaan/musibahnya adalah para nabi, kemudian orang-orang shaleh, lalu yang semisal (dengan itu) dan yang semisal.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 2000, h. 1244-45)
Wallahu a’lam bish shawwab
Muhammad Afiq Zahara, alumnus PP. Darrussa’adah, Bulus, Kritig, Petanaha
Komentar0