Beliaulah KHR. Asnawi, ulama asli dari Kudus yang juga menjadi salah satu pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ sang pemilik hak paten sholawat yang sarat makna ini. Tak melulu sanjungan kepada Nabi Muhammad saja seperti karya-karya sholawat yang lain, namun juga terkandung berbagai munajat do’a untuk Al-Qur’an dan Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, sholawat Asnawiyyah semakin sering menggema di madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren Indonesia, khususnya di kota Kudus. Santri-santri yang tergabung dalam grup rebana Al-Mubarok Madrasah Qudsiyyah Kudus selalu konsisten dalam membawakan sholawat Asnawiyyah di setiap album rebana yang mereka keluarkan dengan berbagai arasemen yang sangat beragam dari masa ke masa.
Seakan menjadi identitas Kota Kudus, sholawat Asnawiyyah banyak dilantunkan dalam berbagai even, entah itu dalam perayaan maulid nabi, majelis-majelis pendidikan Al-Qur’an, maupun kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh NU seperti GP Ansor, IPNU & IPPNU, dll. Hal ini memberi isyarat kepada masyarakat luas jika ini loh kami, santri Qur’ani dari Kudus yang mencintai negeri kami.
Sang maestro sholawat Asnawiyyah, KH. R. Asnawi memang dikenal sebagai ulama’ yang ngabehi, seorang tokoh besar pendiri NU yang sangat mencintai Indonesia dengan seluruh masyarakatnya yang terdiri dari berbagai lapisan.
Seakan meneruskan perjuangan Sunan Kudus, beliau ingin mengabdikan diri kepada masyarakat melalui berbagai media. Dalam dunia pendidikan, beliau mendirikan Madrasah Qudsiyyah Kudus yang pada tahun kemarin baru saja merayakan satu abad kelahirannya. Pondok pesantren Roudlotut Tholibin juga menjadi media dakwah beliau yang sampai saat ini masih berdiri di Kota Kudus.
Selain berdakwah malalui pendidikan dan pesantren, beliau juga sangat peduli dengan pendidikan masyarakat awam melalui kitab ringkas berbahasa Jawa karangan beliau “Fasholatan Kyai Asnawi” yang berisi pembahasan-pembahasan pokok nan mudah dipahami tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah sholat. Beliau juga membuat berbagai pengajian rutin yang hingga saat ini masih diteruskan oleh ulama’-ulama’ penerus di Kota Kudus, salah satunya adalah pengajian pitulasaan yang dilaksanakan setiap tanggal 17 hijriyah setiap bulannya di Masjid Menara Kudus.
Kecintaan beliau kepada Al-Qur’an juga dituangkan dalam bait-bait fenomenal sholawat Asnawiyyah. Memang, selain dikenal sebagai seorang ulama’ besar yang luas keilmuannya, beliau juga sosok penyair yang hebat. Ada banyak syair-syair yang lahir dari pemikiran beliau. Tak sedikit yang berisi bait-bait kemerdekaan dan patriotisme dalam Bahasa Arab, seperti lagu Ya Lal Wathon karya KH. Wahab Hasbullah yang akhir-akhir ini mulai banyak digaungkan para santri sebagai penumbuh rasa nasionalisme.
KH. Choirozyad Turaichan Adjhuri Kudus pernah bercerita ketika sedang mengajar di MA NU Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus jika dahulu KH. R. Asnawi sering datang ke MI TBS Kudus di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Para siswa selalu senang dengan kehadiran beliau, dan mereka langsung berbaris rapi untuk mendengarkan segala hal dari beliau, entah itu cerita-cerita Islami, humor-humor ringan, dongeng, dan yang paling disukai adalah saat mereka diajak melantunkan syair-syair sholawat perjuangan asli karya KH. R. Asnawi. Seingat KH. Choirozyad Turaichan Adjhuri, beliau dan teman-temannya di MI TBS Kudus dulu pernah dibuatkan syair tentang Presiden Sukarno dengan lirik dan nada yang penuh patriotisme guna menyambut kunjungan Presiden Sukarno di Kota Kudus kala itu.
Melalui media pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah di sekitar Kota Kudus beliau mulai menyebarkan virus cinta Al-Qur’an dan tanah air. Dan memang terbukti hingga sekarang sudah banyak madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren, utamanya pesantren Al-Qur’an yang berdiri dan berkembang cukup pesat di Kota Kudus, seperti Madrasah TBS, Qudsiyyah, Banat, dan Mu’allimat. Ada juga Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an, Roudlotul Mardiyah, Darul Furqon, dan masih banyak lagi yang kesemuanya masih bersanad ilmu kepada KH. R. Asnawi.
Secara sederhana, terdapat 3 poin utama yang ingin disampaikan KH. R. Asnawi di dalam lirik sholawat Asnawiyyahnya. Pertama, tentang rasa butuh kita kepada Al-Qur’an dalam menjalani kehidupan. Karena dengan penerang yang berasal dari cahaya Al-Qur’an hati kita menjadi terarah dan bisa terhindar dari gelapnya tipu daya dunia, “Ya Robbi Sholli ‘alarrosul li muhammadin sirril ‘ula, Wal Anbiya’ wal mursalin nalghurri khotman awwala, Ya Robbi nawwir qolbana bi nuri qur’anin jala.”
Yang kedua adalah sebuah do’a agar diberi kekuatan dalam menjaga Al-Qur’an, yakni dalam hal tartil ketika membacanya, langgengnya hafalan bagi mereka yang menghafalkan Al-Qur’an, dan yang terpenting adalah istiqomah dalam membawa panji-panji Al-Qur’an dalam kehidupan manusia kepada Allah dan sesama. ”Waftah lana bidarsin au qiro’atin turottala, warzuq bifahmil anbiya’ lana wa aiyya man tala, tsabbit bihi imanana dun-ya wa ukhro kamila.”
Poin ketiga, kita dapat melihat jiwa nasionalisme KH. R. Asnawi dengan jelas pada 3 lirik terakhir dalam sholawat Asnawiyyah. Secara tekstual beliau mengajak kita untuk mendoakan agar keberkahan Al-Qur’an dapat menjaga Indonesia. Sebab dari negeri yang aman, mayarakat akan lebih nyaman dan khusyuk dalam beragama dan membina kehidupan yang bernafaskan Al-Qur’an. “Aman aman aman aman Bindonesia raya aman, amin amin amin amin ya robbi robbal ‘alamin, amin amin amin amin wa ya mujibas sa’ilin.”
Di masa sebelum dan awal kemerdekaan Indonesia, semangat dalam membela tanah air sangatlah penting untuk dikobarkan. Dan dengan kepiawainnya, KH. R. Asnawi berhasil mengambil posisi strategis didalamnya melalui dunia syair Islami. Para santri dan pecinta Al-Qur’an diajak untuk bersama-sama belajar memiliki, mencintai, dan membela NKRI yang dengan susah payah diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa. Dengan sholawat ini KH. R. Asnawi berpesan kepada para santri untuk tidak berpangku tangan hanya dengan semangat belajar saja, namun juga semangat dalam berjiwa nasionalisme.
Karya besar KH. R. Asnawi ini menjadi bekal para santri di era sekarang. Merawat Indonesia adalah sebuah keharusan. Tantangan saat ini adalah menurunnya jiwa nasionalisme di tubuh masyarakat. Bibit-bibit radikalisme mulai muncul dari tempat-tempat yang mengatasnamakan dirinya sebagai pesantren. Jika kita tengok lebih dalam, akan kita temukan kejanggalan dari pesantren dan para santri yang anti NKRI tersebut, sebab pioner kemerdekaan negeri ini adalah seluruh komponen bangsa yang didalamnya ada banyak dari kalangan pesantren.
Sangat mengherankan jika negeri yang diperjuangkan oleh orang-orang pesantren malah ada oknum-oknum pesantren yang sekarang memiliki doktrin-doktrin halus anti nasionalisme. Pemikiran-pemikiran radikal seperti ini jika dibiarkan maka akan menimbulkan teror-teror yang mengatasnamakan Islam sebagai ajang jihad. Lalu mereka jihad untuk siapa jika sasarannya malah ditujukan kepada saudara-saudaranya sesama muslim?
Dalam hidup berbangsa dan bernegara, jiwa nasionalisme sangatlah perlu. Perbedaan pendapat sangatlah wajar terjadi, asalkan tidak menjurus pada tindakan radikal. Dunia pesantren sejatinya mengajarkan kesantunan ini. Memberi pemahamann yang benar kepada para pelaku radikalisme adalah langkah yang tepat. Mereka mungkin saja masih terjerembap pada pemikiran pendek dalam mengartikan Islam dan Indonesia. Dan pesantren adalah pilihan yang tepat sebagai rumah pemuda-pemudi Islam Indonesia untuk menjadi media utama mencegah berkembangnya paham radikalisme.
Penetapan Hari Santri Nasional setiap 22 oktober mulai 2015 lalu oleh Pemerintah RI mengindikasikan jika pemerintah memberi apresiasi kepada para santri yang telah ikut serta menjadi salah satu komponen bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bangsa ini mengharapkan agar dunia pesantren tetap istiqomah dalam menyiapkan generasi muda yang berjiwa Islam dan Indonesia kuat.
Dengan banyaknya model pesantren yang kita miliki, maka semakin banyak pula media kita dalam berjuang untuk mengabdi kepada bangsa, utamanya dalam bidang pendidikan keagamaan. Bagi meraka yang berada di pondok pesantren salaf, bisa melestarikan budaya literatur kitab kuning yang melegenda khas pesantren klasik di Indonesia. Lalu bagi mereka yang berada di pondok pesantren modern, bisa mengembangkan kemampuan IPTEK dan bahasa asingnya dalam bersaing dengan dunia global. Dan bagi mereka yang berada di pondok pesantren Al-Qur’an, bisa menjadi pemuda qur’ani yang cerdas. Melanjutkan estafet para panghafal Al-Qur’an dan mengembangkan Qiro’at Sab’ah yang sudah mulai jarang dipelajari.
Pada akhirnya, kita telah diberi warisan karya dan pemikiran dari sang ulama’ besar KH. R. Asnawi untuk menjadi santri yang berjiwa qur’ani dengan memiliki semangat yang tinggi terhadap nasionalisme. Menjadi santri yang cinta Indonesia adalah sebuah keharusan, sebab Indonesia adalah rumah kita bersama. Dan mari bersama-sama merawat dan memajukannya dengan cara kita, sebagai seorang santri.
Refleksi peringatan haul KHR. Asnawi ke 61-
Fp Pondok Pesantren Tahfidz Yanbuul Quran Kudus
Komentar0